Pages

Sabtu, 21 April 2012

?!


Sempat terbersit dalam benak untuk mengakhiri semua ini agar bisa bertemu dan hidup kembali bersama beliau di dunia berbeda. JUJUR aku lelah, aku tak tahu arah jalan hidupku, dan sekali lagi aku katakan aku lelah. Dulu sempat terucap kata dari mulutku bahwa "aku hidup di sini karena beliau (Alm. Bapak)" tapi sekarang aku tak tahu aku hidup untuk siapa. Tak ada orang yang benar-benar mengerti aku selain beliau. Memang beliau tak pernah menunjukkan dan menampakkan rasa sayang beliau padaku. Beliau terlalu SEMPURNA sebagai manusia. Mungkin beliau MALAIKAT yang Tuhan kirimkan untukku. Aku tak habis pikir, 30 tahun lebih beliau bisa untuk hidup bersama seseorang wanita seperti ibuku. Sudahlah tak pantas juga aku lanjutkan cerita mengenai ibuku ini. Yang pasti, aku tak bisa jika ibu masih saja seperti ini. Dada ini serasa terus sesak. Air mata ini serasa tak ada habisnya untuk mengalir jika ibu masih saja seperti dulu. Tuhan, apa aku yang salah? Tuhan aku hanya ingin yang terbaik dan tak ingin membuat beliau bersedih di sana. Tuhan salahkah bila air mataku ini terus mengalir. Tuhan aku tak tahu pada siapa aku harus berkeluh kesah. Tuhan....... AKU RAPUH... TUHAN.... AKU TERTATIH... T____T

Sabtu, 07 April 2012

Cerpen_01


Cinta Tak Harus Miliki 

            “Ketika tiba saat perpisahan janganlah kalian berduka, sebab apa yang paling kalian kasihi darinya mungkin akan nampak lebih nyata dari kejauhan. Seperti gunung yang nampak lebih agung terlihat dari padang dan daratan”.

Kalimat Khalil Gibran itulah yang selama ini menguatkan diriku, yang selama ini selalu memberikan diriku harapan untuk bisa lebih memahami roda kehidupan yang arahnya tak pernah menentu.
            Oktaviona Putri Bastian namaku, nama yang bagus yang Tuhan anugerahkan padaku. Nyaris berbeda 180° dengan kehidupan nyataku. Setiap pulang sekolah aku harus menjaga sebuah warnet milik teman Almarhum  ayahku. Ya setahun yang lalu ayahku meninggalkan aku dan ibuku. Ibuku begitu terpukul dengan kepergian ayah, sampai akhirnya satu bulan yang lalu ibuku menyusul ayah, dan sekarang aku tinggal berdua dengan nenek yang telah lanjut usia. Kakak kandungku Dion yang saat ini hidup dengan bergelimang harta, seakan lupa pada diriku. Aku ditelantarkan begitu saja, dia tak pernah mengakui aku ini adiknya.
            Hidupku memang sungguh tragis, satu persatu orang yang aku sayangi pergi meninggalkan aku, kadang aku berpikir apa salahku hingga Tuhan memberi cobaan begitu berat untukku.

            Dan hari ini seperti biasanya, berbekal tas ransel butut berisi sepotong roti sisa kemarin dan beberapa buku pelajaran aku berangkat ke warnet tempatku bekerja. Ya begitulah kira-kira keseharianku.
            “Bruukkkk…”
            Aku kaget! Kakiku seakan begitu nyilu. Kepalaku pun terasa begitu berat. Aku dikelilingi banyak orang. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku. Sampai akhirnya aku menutup mataku, aku pingsan.

            Aku terbangun dari tidurku, pelan-pelan kulihat sekelilingku. Tembok dinding berwarna putih, sekitarku bau obat. Aku bingung, aku tak tahu aku ada dimana. Aku ingin bertanya, tapi tak ada satu orangpun yang aku lihat di ruangan ini.
            Kriekk…..
            Suara pintu terbuka, aku berharap ada seseorang yang bisa menjawab rasa penasaranku.
            “Hei, sudah sadar?” tanya seseorang berbadan jangkung yang kemudian duduk disamping tempatku tidur.
            “Ya. Aku ada dimana? Dan…..” belum sempat aku melanjutkan kata-kataku.
            “Sebelumnya gue minta maaf. Karena gue, loe jadi seperti sekarang. Gue tadi gak sengaja nabrak loe.”
            “Lalu?” tanyaku masih dengan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu.
            “Loe udah gak apa-apa, sekarang loe boleh pulang. Dimana rumah loe? Biar gue antar loe.”
            “Kamu harus antarkan aku ke tempatku bekerja, aku bisa dipecat. Gimana ini?” ucapku panik.
            “Ok. Loe nyantai dong, gue bakal antar loe kemana aja. Gue bakal bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi sama loe. Jadi loe gak perlu khawatir gitu.”

            Aku tunggu cowok itu di depan rumah sakit, karena dia mengambil mobilnya. Aku berharap apa yang aku pikirkan tentang cowok itu adalah salah.
            “Tin…….Tin…..Tin……..” suara klakson mobil sport berwarna merah metalik membuyarkan lamunanku tentang cowok itu.
            “Ayo masuk. Loe mau pulang gak?”
            Aku terenyah. Tak kusangka orang yang didalam mobil mewah itu adalah cowok yang sedari tadi bersamaku. Yang aku pikir akan meninggalkanku sendirian di tempat ini.
            “Hey, kok ngelamun? Loe mau pulangkan? Atau masih betah di rumah sakit?” tanya cowok itu seraya meletakkan tangannya di depan mataku.
            “Oh, ya aku mau pulang.” ucapku akhirnya.
            Aku masuki mobil mewah itu. Saat kuinjakkan kakiku ke dalam mobil mewah itu, aku teringat akan ayahku. Dulu kami hidup bahagia, apapun kami punya. Hingga ayahku meninggal, semuanya seakan berubah, semua yang kami miliki dirampas kakak kandungku sendiri, yang dibutakan oleh harta.
           
            “Sorry, kita belum kenalan. Gue Fathur. Loe?” ucap cowok itu sambil mengulurkan tangannya ke hadapanku.
            “Aku Vio.”
            “Loe mau kemana?”
            “Aku harus ke tempatku bekerja. Aku harus menjelaskan pada bosku, jika tidak aku bisa dipecat.”
            “Loe tenang dong. Yang ngebuat loe seperti sekarang adalah gue. Jadi gue bakalan tanggung jawab atas semuanya. Akan gue jelasin ke bos loe.” jelas cowok itu.
           
            Aku terdiam sejenak. Lagi-lagi dia mengingatkanku pada sosok ayahku yang selalu bertanggung jawab, yang tak pernah meninggalkan kewajibannya. Segala yang Fathur ucapkan bahkan menyerupai apa yang pernah ayahku ucapkan. Perhatiannya dia pada seorang wanita. Ah, aku bodoh. Aku tak kenal siapa dia. Aku tak tahu asal dia darimana. Aku tak boleh jatuh cinta padanya.

            “Hey. Kenapa sih loe ngelamun terus? Ada yang lagi loe pikirin?” tanya cowok itu dengan lembutnya.
            “Gak papa kog. Kamu bisa antar aku ke Jalan Merpati Bangsa?”
            “Ehm, ok tenang aja. Dijamin aman sampai tujuan.” katanya sambil tersenyum.
            Dan ketika aku melihat senyum itu, hatiku terasa sejuk. Senyum itu sama dengan senyum ayahku yang selalu membuatku damai.

            Sejenak suasana dalam mobil sepi, tapi tiba-tiba………..
            “Gue boleh tanya sesuatu sama loe?” tanya Fatis padaku.
            “Ya. Mau tanya apa?” jawabku seadanya.
            “Kalau gue boleh nebak cewek seumuran loe ini bukan seharusnya masih sekolah ya? Dan loe masih SMA-kan? Tapi, tadi loe bilang mau ke tempat kerja loe. Yang bener yang mana sih? Loe sekolah atau kerja?”
            “Ya. aku sekolah sambil kerja. Untuk nambah-nambahi biaya sekolah.” jawabku dengan polosnya.
            “Emang orang tua loe kemana?”
            “Orang tua aku sudah meninggal.”
            “Oh, maaf. Gue gak tahu.” jelas Fathur dengan wajah serbasalahnya.
            “Gak papa. Nyantai aja lagi.”
            “Eh ya, kita udah nyampe Jalan Merpati Bangsa. Loe mau ke toko yang mana?” tanya Fathur lagi.
            “Itu. Aku bekerja di warnet itu.” jawabku sambil menunjuk sebuah warnet ternama yang ada di seberang jalan.

            Aku sampai di depan warnet, hatiku berdebar-debar dag-dig-dug tak karuan. Aku takut Tante Wijoyo pemilik warnet ini tak mau mendengarkan penjelasanku. Akhirnya dengan langkah gontai aku berjalan menuju seberang, karena mobil Fathur di parkir diseberang jalan warnet itu.
            Aku jelaskan semua hal yang terjadi padaku hari ini pada Bu Wijoyo bos-ku. Dan hal yang membuatku begitu kaget yaitu Fathur adalah anak Bu Wijoyo. Aku benar-benar tak menyangka dunia ini begitu sempit.

            Di rumah Fathur.
            “Mi, Fathur bangga deh ama Vio. Masih kecil tapi uda bisa bagi waktu antara sekolah dan kerja.” kata Fathur saat dia dan mamanya asyik menonton TV.
            “Ih, anak mami kayaknya jatuh cinta ini.” ucap Bu Wijoyo sambil mengelus-elus rambut Fathur.
            “Ah, Mami. Jangan buat Fathur malu dong.”
            “Sayang, bukannya mami gak seneng kamu jatuh cinta. Tapi, mami harap kamu jangan terlalu dekat dengna Vio ataupun keluarganya.”
            “Loh, memang kenapa Mi? Mami kenal dengan keluarga Vio?”
            “Ah, sudahlah. Kamu gak tidur Sayang? Ini udah malem loh. Besokkan kamu kerja.” ucap Bu Wijoyo yang seakan ingin mengalihkan pembicaraan.

            Malam ini malam minggu, tadi sore Fathur datang ke warnet. Dia bilang dia ingin menjemputku, dia minta ijin ke Bu Wijoyo untuk mengijinkanku pulang lebih awal. Aku tak tahu dia mau apa. Ternyata malamnya dia mengajakku untuk dinner. Aku senang dan begitu gembira. Satu jam sebelum Fathur datang menjemputku, aku sibuk memilah-milah baju mana yang akan aku kenakan, karena memang semenjak hidupku berantakan, aku tak pernah punya gaun mewah seperti dahulu. Akhirnya aku putuskan memakai gaun berwarna hitam selutut hadiah peninggalan ayahku yang masih terlihat bagus.

            Teng tong……… teng tong……………..
            “Vio, ada tamu nyarik kamu.” teriak nenek dari teras depan rumah.
            “Ya, Nek. Suruh tunggu sebentar.” balasku pada nenek.
            “Vio, kamu mau kemana? Vio, nenek harap kamu jangan terlalu berharap dan dekat dengan keluarga Wijoyo.” terang nenek saat dia menyusulku di kamar.
            “Memang kenapa Nek?” tanyaku heran.
            “Ya nenek hanya tidak ingin kamu sedih dan disakiti.”
            “Maksud nenek?” tanyaku lagi.
            “Sudahlah. Kamu sudah ditunggu di depan.”

            Di perjalanan menuju restoran hatiku serasa tidak tenang. Aku masih teringat kata-kata nenek tadi.
            “Tur, aku boleh bertanya sesuatu sama kamu?” ucapku akhirnya.
            “Ya. Mau tanya apa nona manis? Eits, sebelumnya kalau aku boleh jujur malam ini kamu terlihat begitu cantik.” terang Fathur gombal.
            Ha? Aku tersenyum dalam hati, karena baru kali ini sejak kita kenal, Fathur berkata aku kamu.
            “Apa sih?” ucapku malu.
            “Vi, aku gak tahu harus ngomong apa sama kamu. Kamu percaya gak ama cinta pada pandangan pertama? Awalnya aku gak percaya sama itu Vi. Tapi saat aku ketemu kamu, aku baru percaya ungkapan itu. Vio aku sayang ama kamu.” kata Fathur tiba-tiba yang dengan tiba-tiba pula menggenggam tanganku.
            “Hem, aku juga sayang ama kamu. Tapi, aku masih teringat akan kata-kata nenekku, dia tak ingin aku terlalu dekat dengan keluargamu. Aku juga tak tahu mengapa.” jawabku seadanya.
            “Mamiku juga melarangku untuk dekat denganmu.” ujar Fathur padaku.
            “Jadi, bagaimana?” tanyaku bingung.
            “Kita jalani aja dulu cinta kita ini.”
            Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum simpul mendengar penjelasan cowok manis itu. Aku juga tak tahu apa aku benar-benar mencintainya sebagai Fathur atau aku mencintainya hanya karena dia serupa dengan ayahku.

            Malam ini aku tak bisa tidur. Iseng-iseng aku ke kamar ibuku. Dan tanpa sengaja aku melihat sebuah buku yang nampak seperti buku harian. Awalnya aku sama sekali tak ingin membukanya, tapi entah kenapa aku yakin dengan membuka buku itu hubunganku dan Fathur akan jelas, tidak seperti sekarang yang kucing-kucingan dengan Bu Wijoyo ibu Fathur dan nenekku.
            Aku buka halaman pertama, nampaknya ini buku harian ibuku dari masa mudanya hingga sampai dia menghembuskan nafas terakhirnya. Aku buka tiap lembar dari halaman buku itu dan sampailah aku pada sebuah halaman dimana lembar halaman itu terlihat begitu kusut. Aku penasaran, aku baca tiap tulisan di halaman itu. Sedikit demi sedikit air mataku jatuh membasahi wajahku, aku sungguh shock. Aku tutup dan aku letakkan kembali buku itu di tempatnya.
            Malam ini aku berencana bertemu Fathur yang kini telah menjadi kekasihku. Hari ini aku akan menjelaskan padanya tentang apa yang aku baca di buku harian ibuku.
            “Sayang, kamu kenapa? Malam-malam gini ngajak keluar, kangen ya ama aku?” canda Fathur.
            “Udah cukup semua ini. Lebih baik kita jalani hidup kita sendiri-sendiri. Karena aku muak dengan semua ini dan terutama dengan keluarga kamu.” ucapku lantang hingga orang-orang yang berada di kafe melihat padaku dan Fathur.
            “Sayang, maksud kamu apa? Aku benar-benar gak ngerti.” kata Fathur yang mencoba meminta penjelasan dariku.
            “Kamu dan keluargamu itu sungguh biadab. Asal kamu tahu ya, ternyata ayahku itu meninggal bukan karena serangan jantung, tapi karena di BUNUH AYAHMU! Ayahmu iri akan usaha ayahku yang begitu maju. Dia tak ingin ayahku menyaingi usahanya. Makanya dia membunuh ayahku. Dan yang perlu kamu tahu lagi, Dion kakakku termakan rayuan ayahmu hingga dia rela meninggalkan keluarganya hanya demi harta. Satu lagi, aku baru tahu kalau ibumu itu menerima aku bekerja di perusahaannya karena merasa bersalah atas apa yang keluargaku alami. Dan saat ini setelah aku mengetahui semuanya, aku benar-benar benci keluarga Wijoyo” jelasku lantang.
            “Tapi, Vi. Aku gak tahu akan hal itu. Aku baru datang dari Paris saat kita pertama bertemu. Aku kuliah di sana.” kata Fathur mencoba membela diri.
            “Terserah kamu mau baru datang dari mana. Yang pasti aku tak bisa memaafkan perbuatan keluarga Wijoyo. Jujur aku memang sayang dan cinta sama kamu. Tapi apa boleh buat, kamu adalah anak seorang pembunuh dan yang dibunuh itu ayahku sendiri. Jadi, sampai kapanpun aku dan kamu tak mungkin tuk bersama. Makasih untuk semua yang kamu beri padaku, biarlah apa yang pernah terjadi antara kita akan menjadi masa lalu saja.” ucapku masih dengan nada lantang dan keras.
            Aku menyesali nasibku. Kenapa harus Fathur yang aku cintai, kenapa harus Fathur yang menjadi anak pembunuh ayahku? Saat ini, satu per satu orang yang aku sayangi benar-benar pergi meninggalkanku. Dari ayahku, ibuku, Dion kakakku, dan kini Fathur pujaan hatiku yang selama ini aku bangga-banggakan. Nasib memang tak pernah bisa kita elak, mau tak mau harus kita hadapi. Dan kini aku mencoba tuk maju ke depan memandang masa depanku. Biarlah cintaku pada Fathur menjadi cinta yang tak sampai, yang tak harus saling miliki satu dan yang lainnya.



By : Claudia Adhe Meitrin
tahun 2008

K E T I K A
Ketika waktu yang tersisa tinggal hitungan jari
Ketika kebersamaan tak mungkin tercipta lagi
Ketika kelas tak menunggu untuk ditempati lagi
Ketika kenakalan tak dipertontonkan lagi
Ketika kelu kesah pada pelajaran tak terdengar lagi
Ketika mengerjakan PR disekolah tak terjadi lagi
Ketika guru terchiller tak ditakuti lagi
Ketika ulangan menakutkan tak jadi rutinitas lagi
Ketika kegiatan membolos sudah tak dilakukan
Ketika kekompakan menjahili teman tak dilakukan lagi
Ketika kekompakan mencontek tak ada lagi
Ketika rasa tak suka pada sesama telah hilang
Ketika meja kursi sudah kosong
Ketika kantin sudah sepi pembeli
Ketika putih abu-abu itu tak dikenakan lagi
Ketika semua itu telah benar-benar lenyap
Ketika itulah aku sadar
Bahwa apa yang terjadi selama 3 tahun lalu
Adalah kenangan putih abu-abu yang terindah
Kenangan putih abu-abu yang terjadi sekali seumur hidup
Kenangan putih abu-abu yang pilu tapi manis
Kenangan yang akan menjadi catatan sejarah hidup
Dan . . . . . . . . . . . .
Walau semuanya telah lenyap dalam bayangan mata
Tapi semua itu tetap hidup dalam relung hati paling dalam
Akan tetap terjaga abadi hingga mata tertutup untuk selamanya!

Situbondo, Juni 2010
specialy for alumni SMA 1 Situbondo 2010
 

Blogger news

Blogroll

Clock

About

Blogger Tricks