Cinta Tak Harus Miliki
“Ketika
tiba saat perpisahan janganlah kalian berduka, sebab apa yang paling kalian
kasihi darinya mungkin akan nampak lebih nyata dari kejauhan. Seperti gunung
yang nampak lebih agung terlihat dari padang dan daratan”.
Kalimat Khalil Gibran itulah yang
selama ini menguatkan diriku, yang selama ini selalu memberikan diriku harapan
untuk bisa lebih memahami roda kehidupan yang arahnya tak pernah menentu.
Oktaviona
Putri Bastian namaku, nama yang bagus yang Tuhan anugerahkan padaku. Nyaris
berbeda 180° dengan kehidupan nyataku. Setiap pulang sekolah aku harus menjaga
sebuah warnet milik teman Almarhum
ayahku. Ya setahun yang lalu ayahku meninggalkan aku dan ibuku. Ibuku
begitu terpukul dengan kepergian ayah, sampai akhirnya satu bulan yang lalu
ibuku menyusul ayah, dan sekarang aku tinggal berdua dengan nenek yang telah
lanjut usia. Kakak kandungku Dion yang saat ini hidup dengan bergelimang harta,
seakan lupa pada diriku. Aku ditelantarkan begitu saja, dia tak pernah mengakui
aku ini adiknya.
Hidupku
memang sungguh tragis, satu persatu orang yang aku sayangi pergi meninggalkan
aku, kadang aku berpikir apa salahku hingga Tuhan memberi cobaan begitu berat
untukku.
Dan
hari ini seperti biasanya, berbekal tas ransel butut berisi sepotong roti sisa
kemarin dan beberapa buku pelajaran aku berangkat ke warnet tempatku bekerja.
Ya begitulah kira-kira keseharianku.
“Bruukkkk…”
Aku
kaget! Kakiku seakan begitu nyilu. Kepalaku pun terasa begitu berat. Aku
dikelilingi banyak orang. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku. Sampai akhirnya
aku menutup mataku, aku pingsan.
Aku
terbangun dari tidurku, pelan-pelan kulihat sekelilingku. Tembok dinding
berwarna putih, sekitarku bau obat. Aku bingung, aku tak tahu aku ada dimana.
Aku ingin bertanya, tapi tak ada satu orangpun yang aku lihat di ruangan ini.
Kriekk…..
Suara
pintu terbuka, aku berharap ada seseorang yang bisa menjawab rasa penasaranku.
“Hei,
sudah sadar?” tanya seseorang berbadan jangkung yang kemudian duduk disamping
tempatku tidur.
“Ya.
Aku ada dimana? Dan…..” belum sempat aku melanjutkan kata-kataku.
“Sebelumnya
gue minta maaf. Karena gue, loe jadi seperti sekarang. Gue tadi gak sengaja
nabrak loe.”
“Lalu?”
tanyaku masih dengan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu.
“Loe
udah gak apa-apa, sekarang loe boleh pulang. Dimana rumah loe? Biar gue antar loe.”
“Kamu
harus antarkan aku ke tempatku bekerja, aku bisa dipecat. Gimana ini?” ucapku panik.
“Ok.
Loe nyantai dong, gue bakal antar loe kemana aja. Gue bakal bertanggung jawab
atas apa yang telah terjadi sama loe. Jadi loe gak perlu khawatir gitu.”
Aku
tunggu cowok itu di depan rumah sakit, karena dia mengambil mobilnya. Aku
berharap apa yang aku pikirkan tentang cowok itu adalah salah.
“Tin…….Tin…..Tin……..”
suara klakson mobil sport berwarna merah metalik membuyarkan lamunanku tentang
cowok itu.
“Ayo
masuk. Loe mau pulang gak?”
Aku
terenyah. Tak kusangka orang yang didalam mobil mewah itu adalah cowok yang
sedari tadi bersamaku. Yang aku pikir akan meninggalkanku sendirian di tempat
ini.
“Hey,
kok ngelamun? Loe mau pulangkan? Atau masih betah di rumah sakit?” tanya cowok
itu seraya meletakkan tangannya di depan mataku.
“Oh,
ya aku mau pulang.” ucapku akhirnya.
Aku
masuki mobil mewah itu. Saat kuinjakkan kakiku ke dalam mobil mewah itu, aku
teringat akan ayahku. Dulu kami hidup bahagia, apapun kami punya. Hingga ayahku
meninggal, semuanya seakan berubah, semua yang kami miliki dirampas kakak
kandungku sendiri, yang dibutakan oleh harta.
“Sorry,
kita belum kenalan. Gue Fathur. Loe?” ucap cowok itu sambil mengulurkan
tangannya ke hadapanku.
“Aku
Vio.”
“Loe
mau kemana?”
“Aku
harus ke tempatku bekerja. Aku harus menjelaskan pada bosku, jika tidak aku
bisa dipecat.”
“Loe
tenang dong. Yang ngebuat loe seperti sekarang adalah gue. Jadi gue bakalan
tanggung jawab atas semuanya. Akan gue jelasin ke bos loe.” jelas cowok itu.
Aku
terdiam sejenak. Lagi-lagi dia mengingatkanku pada sosok ayahku yang selalu
bertanggung jawab, yang tak pernah meninggalkan kewajibannya. Segala yang Fathur
ucapkan bahkan menyerupai apa yang pernah ayahku ucapkan. Perhatiannya dia pada
seorang wanita. Ah, aku bodoh. Aku tak kenal siapa dia. Aku tak tahu asal dia
darimana. Aku tak boleh jatuh cinta padanya.
“Hey.
Kenapa sih loe ngelamun terus? Ada yang lagi loe pikirin?” tanya cowok itu
dengan lembutnya.
“Gak
papa kog. Kamu bisa antar aku ke Jalan Merpati Bangsa?”
“Ehm,
ok tenang aja. Dijamin aman sampai tujuan.” katanya sambil tersenyum.
Dan
ketika aku melihat senyum itu, hatiku terasa sejuk. Senyum itu sama dengan
senyum ayahku yang selalu membuatku damai.
Sejenak
suasana dalam mobil sepi, tapi tiba-tiba………..
“Gue
boleh tanya sesuatu sama loe?” tanya Fatis padaku.
“Ya.
Mau tanya apa?” jawabku seadanya.
“Kalau
gue boleh nebak cewek seumuran loe ini bukan seharusnya masih sekolah ya? Dan
loe masih SMA-kan? Tapi, tadi loe bilang mau ke tempat kerja loe. Yang bener
yang mana sih? Loe sekolah atau kerja?”
“Ya.
aku sekolah sambil kerja. Untuk nambah-nambahi biaya sekolah.” jawabku dengan
polosnya.
“Emang
orang tua loe kemana?”
“Orang
tua aku sudah meninggal.”
“Oh,
maaf. Gue gak tahu.” jelas Fathur dengan wajah serbasalahnya.
“Gak
papa. Nyantai aja lagi.”
“Eh
ya, kita udah nyampe Jalan Merpati Bangsa. Loe mau ke toko yang mana?” tanya
Fathur lagi.
“Itu.
Aku bekerja di warnet itu.” jawabku sambil menunjuk sebuah warnet ternama yang
ada di seberang jalan.
Aku
sampai di depan warnet, hatiku berdebar-debar dag-dig-dug tak karuan. Aku takut
Tante Wijoyo pemilik warnet ini tak mau mendengarkan penjelasanku. Akhirnya
dengan langkah gontai aku berjalan menuju seberang, karena mobil Fathur di parkir
diseberang jalan warnet itu.
Aku
jelaskan semua hal yang terjadi padaku hari ini pada Bu Wijoyo bos-ku. Dan hal
yang membuatku begitu kaget yaitu Fathur adalah anak Bu Wijoyo. Aku benar-benar
tak menyangka dunia ini begitu sempit.
Di
rumah Fathur.
“Mi,
Fathur bangga deh ama Vio. Masih kecil tapi uda bisa bagi waktu antara sekolah
dan kerja.” kata Fathur saat dia dan mamanya asyik menonton TV.
“Ih,
anak mami kayaknya jatuh cinta ini.” ucap Bu Wijoyo sambil mengelus-elus rambut
Fathur.
“Ah,
Mami. Jangan buat Fathur malu dong.”
“Sayang,
bukannya mami gak seneng kamu jatuh cinta. Tapi, mami harap kamu jangan terlalu
dekat dengna Vio ataupun keluarganya.”
“Loh,
memang kenapa Mi? Mami kenal dengan keluarga Vio?”
“Ah,
sudahlah. Kamu gak tidur Sayang? Ini udah malem loh. Besokkan kamu kerja.” ucap
Bu Wijoyo yang seakan ingin mengalihkan pembicaraan.
Malam
ini malam minggu, tadi sore Fathur datang ke warnet. Dia bilang dia ingin
menjemputku, dia minta ijin ke Bu Wijoyo untuk mengijinkanku pulang lebih awal.
Aku tak tahu dia mau apa. Ternyata malamnya dia mengajakku untuk dinner. Aku
senang dan begitu gembira. Satu jam sebelum Fathur datang menjemputku, aku
sibuk memilah-milah baju mana yang akan aku kenakan, karena memang semenjak
hidupku berantakan, aku tak pernah punya gaun mewah seperti dahulu. Akhirnya
aku putuskan memakai gaun berwarna hitam selutut hadiah peninggalan ayahku yang
masih terlihat bagus.
Teng
tong……… teng tong……………..
“Vio,
ada tamu nyarik kamu.” teriak nenek dari teras depan rumah.
“Ya,
Nek. Suruh tunggu sebentar.” balasku pada nenek.
“Vio,
kamu mau kemana? Vio, nenek harap kamu jangan terlalu berharap dan dekat dengan
keluarga Wijoyo.” terang nenek saat dia menyusulku di kamar.
“Memang
kenapa Nek?” tanyaku heran.
“Ya
nenek hanya tidak ingin kamu sedih dan disakiti.”
“Maksud
nenek?” tanyaku lagi.
“Sudahlah.
Kamu sudah ditunggu di depan.”
Di
perjalanan menuju restoran hatiku serasa tidak tenang. Aku masih teringat
kata-kata nenek tadi.
“Tur,
aku boleh bertanya sesuatu sama kamu?” ucapku akhirnya.
“Ya.
Mau tanya apa nona manis? Eits, sebelumnya kalau aku boleh jujur malam ini kamu
terlihat begitu cantik.” terang Fathur gombal.
Ha?
Aku tersenyum dalam hati, karena baru kali ini sejak kita kenal, Fathur berkata
aku kamu.
“Apa
sih?” ucapku malu.
“Vi,
aku gak tahu harus ngomong apa sama kamu. Kamu percaya gak ama cinta pada
pandangan pertama? Awalnya aku gak percaya sama itu Vi. Tapi saat aku ketemu
kamu, aku baru percaya ungkapan itu. Vio aku sayang ama kamu.” kata Fathur
tiba-tiba yang dengan tiba-tiba pula menggenggam tanganku.
“Hem,
aku juga sayang ama kamu. Tapi, aku masih teringat akan kata-kata nenekku, dia
tak ingin aku terlalu dekat dengan keluargamu. Aku juga tak tahu mengapa.” jawabku
seadanya.
“Mamiku
juga melarangku untuk dekat denganmu.” ujar Fathur padaku.
“Jadi,
bagaimana?” tanyaku bingung.
“Kita
jalani aja dulu cinta kita ini.”
Aku
hanya bisa mengangguk dan tersenyum simpul mendengar penjelasan cowok manis itu.
Aku juga tak tahu apa aku benar-benar mencintainya sebagai Fathur atau aku
mencintainya hanya karena dia serupa dengan ayahku.
Malam
ini aku tak bisa tidur. Iseng-iseng aku ke kamar ibuku. Dan tanpa sengaja aku
melihat sebuah buku yang nampak seperti buku harian. Awalnya aku sama sekali
tak ingin membukanya, tapi entah kenapa aku yakin dengan membuka buku itu
hubunganku dan Fathur akan jelas, tidak seperti sekarang yang kucing-kucingan
dengan Bu Wijoyo ibu Fathur dan nenekku.
Aku
buka halaman pertama, nampaknya ini buku harian ibuku dari masa mudanya hingga
sampai dia menghembuskan nafas terakhirnya. Aku buka tiap lembar dari halaman
buku itu dan sampailah aku pada sebuah halaman dimana lembar halaman itu terlihat
begitu kusut. Aku penasaran, aku baca tiap tulisan di halaman itu. Sedikit demi
sedikit air mataku jatuh membasahi wajahku, aku sungguh shock. Aku tutup dan
aku letakkan kembali buku itu di tempatnya.
Malam
ini aku berencana bertemu Fathur yang kini telah menjadi kekasihku. Hari ini
aku akan menjelaskan padanya tentang apa yang aku baca di buku harian ibuku.
“Sayang,
kamu kenapa? Malam-malam gini ngajak keluar, kangen ya ama aku?” canda Fathur.
“Udah
cukup semua ini. Lebih baik kita jalani hidup kita sendiri-sendiri. Karena aku
muak dengan semua ini dan terutama dengan keluarga kamu.” ucapku lantang hingga
orang-orang yang berada di kafe melihat padaku dan Fathur.
“Sayang,
maksud kamu apa? Aku benar-benar gak ngerti.” kata Fathur yang mencoba meminta
penjelasan dariku.
“Kamu
dan keluargamu itu sungguh biadab. Asal kamu tahu ya, ternyata ayahku itu
meninggal bukan karena serangan jantung, tapi karena di BUNUH AYAHMU! Ayahmu
iri akan usaha ayahku yang begitu maju. Dia tak ingin ayahku menyaingi
usahanya. Makanya dia membunuh ayahku. Dan yang perlu kamu tahu lagi, Dion
kakakku termakan rayuan ayahmu hingga dia rela meninggalkan keluarganya hanya
demi harta. Satu lagi, aku baru tahu kalau ibumu itu menerima aku bekerja di
perusahaannya karena merasa bersalah atas apa yang keluargaku alami. Dan saat
ini setelah aku mengetahui semuanya, aku benar-benar benci keluarga Wijoyo”
jelasku lantang.
“Tapi,
Vi. Aku gak tahu akan hal itu. Aku baru datang dari Paris saat kita pertama
bertemu. Aku kuliah di sana.” kata Fathur mencoba membela diri.
“Terserah
kamu mau baru datang dari mana. Yang pasti aku tak bisa memaafkan perbuatan
keluarga Wijoyo. Jujur aku memang sayang dan cinta sama kamu. Tapi apa boleh
buat, kamu adalah anak seorang pembunuh dan yang dibunuh itu ayahku sendiri.
Jadi, sampai kapanpun aku dan kamu tak mungkin tuk bersama. Makasih untuk semua
yang kamu beri padaku, biarlah apa yang pernah terjadi antara kita akan menjadi
masa lalu saja.” ucapku masih dengan nada lantang dan keras.
Aku
menyesali nasibku. Kenapa harus Fathur yang aku cintai, kenapa harus Fathur
yang menjadi anak pembunuh ayahku? Saat ini, satu per satu orang yang aku
sayangi benar-benar pergi meninggalkanku. Dari ayahku, ibuku, Dion kakakku, dan
kini Fathur pujaan hatiku yang selama ini aku bangga-banggakan. Nasib memang
tak pernah bisa kita elak, mau tak mau harus kita hadapi. Dan kini aku mencoba
tuk maju ke depan memandang masa depanku. Biarlah cintaku pada Fathur menjadi
cinta yang tak sampai, yang tak harus saling miliki satu dan yang lainnya.
By : Claudia Adhe Meitrin
tahun 2008